Surat yang ditulis William Dodd (Dubes AS untuk Jerman di Berlin) pada tanggal 19 Oktober 1936 kepada Franklin D. Roosevelt, “Saya
memiliki rasa takut terhadap peran korporasi-korporasi Amerika dalam
kemungkinan terjadinya kehancuran demokrasi di Eropa. Bahkan saat saya
menulis surat ini, telah ada ratusan perusahaan Amerika yang membangun
bisnisnya di Jerman. Keluarga DuPonts (melalui I.G. Farben), Standard
Oil milik Rockefeller (melalui Ersatz Gas), terang-terangan memberikan
bantuan langsung kepada riset persenjataan Jerman, Saya menulis ini
kepada anda, karena saya khawatir mereka hanya akan memberikan
komplikasi kepada bahaya laten perang.”(3)
Selama digelarnya pengadilan atas kejahatan perang Nazi seusai PDII, media dengan giat melansir berita-berita dengan wacana “tidak mungkin bagi khalayak internasional dan komunitas bisnis untuk mengetahui rencana ekspansi militer Jerman”. Sesuatu yang dianggap ABSURD oleh penulis akademis Gabriel Kolko. Dalam sebuah bukunya, Kolko menulis, “Tidak
perlu dijelaskan lagi motif perusahaan-perusahaan Amerika yang
berkontrak dengan Jerman. Apabila mereka klaim bahwa mereka tidak
pro-Nazi, saya tidak tahu lagi cara lain untuk mendifinisikannya. Sama
halnya dengan industri media Amerika, yang jelas-jelas telah mengetahui
sejak tahun 1935 bahwa ujung dari upaya kemakmuran Jerman adalah mutlak
merupakan persiapan untuk perang.”(4)
Berawal dari retribusi yang ditetapkan kepada Jerman oleh Perjanjian Versailes
sebagai denda atas kerusakan yang timbul akibat PDI sebesar 132 milyar
mark per tahun (terhitung ekuivalen dengan 1/4 nilai ekspor Jerman).
Pendudukan Ruhr oleh Prancis dan Belgia membuat situasi tambah rumit
bagi Jerman, yang hampir kehabisan nafas dalam melakukan pembayaran. Hal
ini dibaca jeli oleh para bankir Wall Street, yang kemudian pada tahun
1924 diprakarsai J.P. Morgan membentuk “Komite Perbankan untuk Jerman”
dengan program Dawes Plan 1924 (5) semacam IMF untuk Indonesia,
dan berhasil menggelontorkan serangkaian sindikasi pinjaman sebesar $800
juta, yang sebagian besar dialirkan ke industri strategis Jerman yang
dikonsolidasikan oelh I.G. Farben dan Vereinigte Stahlwerke yang
merupakan industri pengadaan bahan kimia terutama yang mendukung
material perang yang digunakan Jerman selama PDII (termasuk bahan
peledak dan bom).
Kontribusi yang disumbangkan sindikasi korporasi Amerika dan Inggris
untuk persiapan Jerman menjelang PDII boleh dikatakan fenomenal, bahkan
sangat krusial kepada evolusi kemampuan militer Jerman. Pada tahun 1950,
sejarawan James Stewart Martin, dalam sebuah bukunya menyimpulkan bahwa “Pinjaman rekonstruksi Jerman LEBIH merupakan kendaraan pendukung PDII, daripada program pembangunan pasca-PDI.”(6)
Dua macam bahan baku terpenting untuk perang, yakni: bahan peledak dan
BBM, keduanya diperoleh Jerman berkat mega investasi yang digelontorkan
sindikasi para bankir raksasa finansial Morgan-Rockefeller.
Tak cukup disitu, mereka bahkan terjun langsung memproduksi mesin perang
Jerman melalui dua manufaktur kendaraan lapis baja terbesar, yakni Opel
yang merupakan sahamnya dimiliki General Motors (manajemen dikontrol
penuh oleh J.P. Morgan), dan Ford A.G. Jerman (anak perusahaan Ford
Motor Company Detroit). Singkatnya, sindikasi para elit industrialis
Amerika yang dipimpin oleh bankir-bankir grup finansial
Morgan-Rockefeller telah memberikan peran yang tak ternilai bagi
kebangkitan Jerman menjadi negara adidaya dibawah rezim Nazi. Beberapa
kocoroan dana (diantara dari sekian banyka) yang berasal dari Wall
Street. Diketahui mengalir langsung masuk ke jantung industri strategis
Jerman untuk memastikan metamorfosis Jerman menjelma menjadi negara
adidaya(7):
1. IG. Farben, supplier terbesar industri perang Jerman (bahan
kimia, plastik, karet sintetis, amunisi, dll.) mendapat suntikan dana
dari Chase Bank, Standard Oil & Ford Motor Co.
2. Fritz Thyssen & Krupp, produsen baja strategis terbesar Jerman mendapat suntikan dana dari Union Banking Corp, Ford Motor Co. & General Electric.
3. OPEL yang merupakan produsen 60% kampfwagen (kendaraan tempur lapis baja) merupakan anak perusahaan dari Ford Motor Co.
4. Hampir seluruh alat komunikasi pada mesin perang Jerman disuplai oleh ITT & General Electric.
5. DAPAG (Deutsche-Amerikanische Petrolieum AG) perusahaan minyak
terbesar Jerman yang merupakan industri perang paling strategis,
merupakan anak perusahaan Standard Oil milik Rockefeller.
FYI. Franklin D. Roosevelt adalah salah satu anggota Dewan Direksi (Board of Directors) dari I.G. Farben Amerika.
SUMBER:
(3)“Franklin D. Roosevelt and Foreign Affairs” Volume III: September 1935-January 1937 (Cambridge: Belknap Press), Edgar B. Nixon
(4) ”American Business and Germany, 1930-1941" Volume XV (Western Political Quarterly), Gabriel Kolko
(5)“Tragedy and Hope” A Study on International Affairs (Univ.Georgetown Press), Professor Carroll Quigley
(6)“All Honorable Men” (Boston: Little Brown and Company), James Stewart Martin
(7)“Wall Street and the Rise of Hitler” (Hoover Press), Anthony C. Sutton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar